Skip to main content

Ingin Resign Buka Usaha? ASN Baca Dulu Sebelum Menyesal!

"Saya ingin punya usaha sampingan yang menghasilkan uang dan membuat diri ini berkembang, enaknya usaha apa yang cocok?". Entah sudah berapa kali saya dengar pertanyaan senada dari beberapa kolega di lingkungan pegawai negeri atau karyawan.

Saya melihat kesamaan pola yang melandasi pertanyaan mereka:  dilema karir yang lamban, waktu untuk keluarga yang semakin sedikit, beban kerja yang tinggi, salary yang tidak progresif, minat dan bakat yang tidak sesuai, penempatan kerja yang terpencil, atau sudah bosan harus LDR dengan keluarga. Sementara wawasan yang makin berkembang, kekuatan modal, membentuk kapasitas baru yang ingin terus maju.

ASN, Pegawai Resign
Seseorang bisa memiliki lebih dari satu profesi, misalnya sebagai pekerja kantoran dan pengusaha.

Resign dan Resiko

Tak jarang diantara kolega saya ada yang bertanya lebih jauh "Apa gua resign aja ya? Gimana menurut elo?". Saya pribadi tak pernah sembrono menyemangati mereka untuk resign untuk menjadi pengusaha. Dunia entrepreneur bukanlah takdir semua orang, kecuali mereka yang siap.

Jika pilihan resign diikuti tempat kerja lain yang lebih baik karena mendapat tawaran jabatan dari pihak luar tentu tak jadi soal. Tapi realitanya, sebagian dari mereka dihadapkan pada pilihan menjaga kepastian "bread and butter" pekerjaan saat ini, atau lompat pagar menjadi full entrepreneur -dengan segala resikonya.

Camkan prinsip ini: semua pilihan di dunia ini beresiko, tinggal bagaimana kita memilih yang paling kecil resikonya atau mencari cara untuk meminimalisir resiko.

Fatamorgana

Bagi sebagian ASN, pilihan resign total dan menjadi entrepreneur sekilas terdengar indah. Apalagi dengan banyaknya motivator-motivator di luar sana yang suka ngasih kompor mleduk! Financial freedom! Jadi boss untuk diri sendiri! Berikan waktu untuk orang tercintamu! dll. Ya betul memang, menjadi pengusaha yang sukses adalah kondisi dimana seseorang bisa mengontrol penuh dinamika karir, memiliki kebebasan dari keterkaitan waktu dengan pekerjaan, beraktifitas sesuai passion, dan bisa bersantai bersama orang tercinta di hari kerja -tidak melulu harus weekend atau cuti. Tapi..

Tapi pertanyaannya, berapa persen sih ASN yang resign dan sukses? Kok banyak teman di sekitar kita yang resign dari pekerjaan lamana dan malah mendapati kondisi dirinya tidak lebih baik. Yang lebih menyedihkan, melihat para senior yang resign pensiun dini lalu  terjun ke dunia usaha dan mengalami kebangkrutan yang traumatis.

Jawabannya ada pada hal esensial yang dapat digali dari pertanyaan berikut:

1. Apa kamu punya visi yang sangat jelas mengenai hidupmu? Jika belum, sebaiknya kerjakan PR ini terlebih dahulu sebelum bicara soal resign.

2. Apakah kamu sudah memiliki rencana pasca resign? Jika tidak memiliki rencana, artinya kamu terjun bebas dari sebuah kepastian menuju ketidakpastian. Padahal, resign adalah upaya untuk mencari kepastian yang lebih baik.

3. Pikirkan, jika tidak resign memangnya cita-citamu pasti gagal? Apakah benar-benar harus resign untuk bisa mencapainya atau ada cara lain yang lebih win-win? Seringkali manusia terjebak dalam sebuah kontradiksi palsu. Hati-hati!

4. Berapa besar sumber daya yang kamu miliki untuk menghadapi proses pasca resign. Apakah sudah selaras dengan visi-misimu?

5. Jika kamu memilih bertahan dengan pekerjaan saat ini, apakah bisa membuatmu hidup secara bahagia?

Jika kamu perhatikan dari seluruh pertanyaan di atas, semuanya memiliki orientasi yang sangat jelas kepada diri sendiri. Resign adalah sebuah keputusan sakral yang memerlukan pemahaman diri secara lebih mendalam. Apa cita-citamu sebenarnya, bagaimana lifestyle yang kamu harapkan untuk hidupmu di masa depan, apa passionmu, apa saja bakat terpendam selama ini, apa visi-misi dan strategimu, dll.

Tidak ada yang lebih benar antara pilihan resign atau tetap bertahan. Tapi yang paling salah adalah jika kamu memilih untuk diam, tidak berbuat apa-apa, namun terus-terusan mengeluh dengan keadaan. Do something and move your ass! #StaySharpASNTajir!

Apakah kamu punya pengalaman pernah ingin mengajukan resign? Share ceritamu di komentar ya, apa alasannya dan bagaimana kelanjutannya. Indahnya berbagi.

Comments

Popular posts from this blog

Intip 9 Cara Pintar Menilai Tawaran Bisnis dari Teman atau Saudara!

"Bro, bagaimana kabarnya? Aku ada penawaran menarik nih. Aku mau buka cabang restoran baru di Jl. Sudirman tapi aku perlu investasi tambahan. Bisnisnya bagus, momentumnya tepat mumpung menjelang bulan puasa pasti rame nanti untuk bukber. Aku kirim proposalnya ya? Spesial untuk kamu, kukasih return 10% per bulan dari nilai investasimu deh! ". Kalau dapat tawaran seperti ini langsung sikat nggak?  Sementara di tabunganmu ada ratusan juta nganggur karena tidak tahu harus diapakan. Suara-suara surgawi mulai mengalun indah di kepala: wah bisa nih buat muter duit tabunganku, ada kesempatan jadi investor, punya saham di restoran, nanti dapat duit bagi hasil, ongkang-ongkang kaki bisa bikin tajir, bisa story di IG sambil bilang "Nengok warung jualan cheeeck.." , wah... senangnya!!!? Tawaran investasi usaha dari teman seringkali tampak menggiurkan bagi kaum gajian. STOP! Take a deep breath , read this blog to the end! Di dunia bisnis, kamu perlu menjadi stoic. Karena in

Kapan Waktu Terbaik Untuk Resign?

Keputusan resign yang baik seyogyanya mempertimbangkan beberapa aspek pemikiran kritis seperti mengapa harus resign, apa yang terjadi jika tidak resign, kemana karir selanjutnya, dan kapan seharusnya mengajukan surat pengunduran diri. Namun dari semuanya, pertanyaan kapan memiliki nilai penting karena terkait dengan eksekusi dari serangkaian strategi yang telah dibangun. Keputusan resign adalah hal penting yang memerlukan pertimbangan secara jernih dan matang. Jadi kapan sebaiknya resign? 1. Saat memiliki performa sangat baik secara terus-menerus namun tidak menunjukan korelasi positif dengan perkembangan karir di tempat bekerja. 2. Ketika mendapatkan kesempatan atau penawaran untuk bekerja di tempat yang lebih baik dengan nilai gaji dan kompensasi yang lebih tinggi. 3. Ketika tempat kerja Anda memiliki kultur yang toxic dimana upaya apapun untuk membawa perubahan positif menjadi tidak berarti, bahkan menghasilkan resistensi lingkungan terhadap Anda. 4. Ketika ingin putar haluan menja

Jualan Dengan Memanfaatkan Rasa Takut Manusia

Di sebuah pagi yang cerah tak sengaja saya menemukan acara di TV dimana seorang host menjual produk rice-cooker dengan embel-embel kesehatan. Ia melakukan “edukasi” soal bahaya nasi untuk penderita diabetes, khususnya betapa cara orang memasak nasi selama ini salah. Untuk memperkuat argumen ia memakai test iodium, dengan pipet tetes tanpa takaran jelas, untuk menunjukan betapa tingginya kandungan gula dalam sesendok nasi. "Lihat, warnanya berubah menjadi hitam! Ini tandanya gulanya sangat tinggi. Dan itu tidak baik untuk Anda!" Teknik penjualan dapat dilakukan dengan menggugah emosi calon pembeli. Sadarkah kamu tentang fenomena ini?. Betapa pemilik brand acapkali menciptakan urgensi melalui rasa takut. Lalu sebuah produk ditawarkan sebagai solusi? Setelah menerapkan teknik agitasi masalah dan solusi, produk berupa rice-cooker yang katanya canggih dan bisa bikin nasi menjadi low-carbo itu ditawarkan dengan harga dua juta rupiah lebih yang dicoret menjadi 1 jutaan